sajak


• Di Ujung Badai
Sajak yang terpendam
Pada kebencian yang menguap di dada kami
Mengalahkan cinta sebab tertalan tangis
Menimpa pangkuan sebuah persahabatan
Ah perpisan itu teman seperti menyambung kembali sebuah ikan
Bangai mengais-ngais emas dipenambangan
Ratusan peristiwa hadir didepan mata kami
Mudah-mudahan bukan kutukan yang kami dapatkan dari memeilih dupa
Diantara beragam pelantra

sajak

LUPA; kepada mereka

Seorang yang tak mengingat ialah seorang yang lupa. Lupa bisa datang kapan saja. Cukup rumit ia terjadi tanpa kompromi, eh memangnya lupa bisa kompromi?
Siapa bilang tidak bisa? Lihat saja para pemimpin di negri sulaiman ini, sebelum menduduki kursi yang di jadikan perlombaan, mereka koar koar segala macam janji. Sekarang, ketika mereka sudah di Awang Awang, apa yang mereka lakukan.? Tidak ada !
Bila para mahasiswa berkata “menolak lupa” mereka malah berucap “mari berupa ria”
Dari jabatan paling tinggi sampai jabatan kurcaci, mereka melupakan apa yang mereka bicara. Seakan tak ada telinga yang mendengar, seakan merekalah yang paling benar.
Mereka tak akan lama berada di sana, mereka sangat mahir menggunakan waktu mereka. Tak ada waktu yang mereka lalui tanpa neraka.

sajak

Sudut kota Negeri

Nay, beri aku seteguk anggur lagi.
Agar sempurna mabukku malam ini.
Akan kuciumi tubuhmu hingga pagi.
Memapatkan setiap longgar antara aku dan kamu.
Nay.
Demi raga kita kukumpulkan dulu semua birahi.

Nay, kutunggu pula esok kau di sini.
Hari ini, makanlah yang banyak dan penuh nutrisi
Agar cemerlang wajahmu dan dadamu berisi.

Jangan risau, nay.
Negara sudah diurus politisi.
Cukup kembali pada pangkuanku nanti.
Karena aku tahu kita sudah sama sama pusing mendengar cek cok sana sini.
Mahasiswa berteriak anti korupsi.
Sedang yang lain sibuk memperkaya diri.
Keamanan pun sudah diurus polisi, nay.
Kemuakan kita, biar kita bawa pada malam nanti.
Jangan mau dimadu para petinggi negeri.
Cukup aku, Nay.
Sampai ketemu nanti

30 Januari 2017